Mungkinkah
Ini Saat Terakhir? - Cerpen Cinta
Tililit…. Tililit…. Tililit….
Tililit…. Tililit…. Tililit….Dengan malas Rona menggerakkan tangannya. Ia
berusaha meraih handphone yang terletak di atas meja tepat di sebelah tempat
tidur dengan mata masih terpejam.
“Ha..lo …”, sahut Rona dengan
perlahan setelah memencet salah satu tombol handphone.
“Ya ampun Na! Lu baru bangun ya?” tanya Rara.
“Yaaaa, ada apa sih Ra?” sahut Rona dengan mata masih mengantuk.
“Tumben banget lu kesiangan? Emang semalam lu begadang ya?” tanya Rara lagi.
“Ya ampun Na! Lu baru bangun ya?” tanya Rara.
“Yaaaa, ada apa sih Ra?” sahut Rona dengan mata masih mengantuk.
“Tumben banget lu kesiangan? Emang semalam lu begadang ya?” tanya Rara lagi.
“Iya nyelesain paper yang disuruh Bu Rani. Weker gue rusak, makanya telat bangun,” jelas Rona perlahan.
“Ohhhh….gitu, ya udah! Sekarang lu
mandi dan cepat-cepat kemari ada kabar penting!” perintah Rara.
“Kabar apaan sih Ra?” tanya Rona
dengan malas karena merasa tidak akan tertarik dengan kabar dari sahabatnya
itu.
“Hari ini Dude masuk sekolah Na!”
kata Rara dengan tegas.
Rona yang sedari tadi tiduran dan memejamkan mata, sontak kaget dan langsung duduk dengan membelalakkan matanya.
Rona yang sedari tadi tiduran dan memejamkan mata, sontak kaget dan langsung duduk dengan membelalakkan matanya.
“Serius Ra?” tanya Rona karena masih
ragu dengan Rara.
“Gue gak becanda! Makanya buruan lu kemari,” katanya mencoba meyakinkan.
“Ya udah tunggu gue,” jawab Rona dan kemudian meletakkan handphone-nya di atas meja. Dia bergegas mandi dan bersiap-siap ke sekolah.
“Gue gak becanda! Makanya buruan lu kemari,” katanya mencoba meyakinkan.
“Ya udah tunggu gue,” jawab Rona dan kemudian meletakkan handphone-nya di atas meja. Dia bergegas mandi dan bersiap-siap ke sekolah.
Dalam perjalanan Rona terlihat
gelisah. Pikirannya bercampur aduk antara senang dan tidak. Pak supir yang
sedari tadi mengamati Rona merasa heran. Rona memang sudah sangat merindukan
sang pacar Dude, tapi ia juga membencinya. Karena sudah tiga bulan terakhir ini
Dude tak masuk sekolah. Dude juga tak pernah memberikan kabar. Dan saat Rona
mendatangi rumah Dude, pembantunya tak mau memberikan informasi tentang Dude.
Sahabat dan teman dekat Dude sudah
ditanyai Rona, tapi tak satu pun yang tahu. Sedangkan wali kelas dan guru-guru
tidak mau memberitahukan apapun tentang Dude, padahal mereka sebenarnya tahu
segalanya. Bulan pertama dan kedua Rona seakan tak terima dengan kehilangan
Dude yang tiba-tiba. Namun di bulan ketiga ia mulai berangsur pasrah.
Mobil yang dikendarai pak sopir
berhenti tepat di depan gerbang sekolah, tanpa mengucapkan apa-apa Rona
bergegas keluar dari mobil dan berlari ke arah kelas. Pak sopir hanya diam
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Saat tiba di kelas Rona langsung
menghampiri Rara.
“Ra! Lu serius dengan yang tadi kan?” tanya Rona meminta penjelasan Rara.
“Iya Na! tadi Dude datang kemari dan nyariin lu,” jawab Rara.
“Trus lu ngomong apa sama dia?”
“Ra! Lu serius dengan yang tadi kan?” tanya Rona meminta penjelasan Rara.
“Iya Na! tadi Dude datang kemari dan nyariin lu,” jawab Rara.
“Trus lu ngomong apa sama dia?”
“Ya gue bilang aja lu belum datang.
Terus dia pergi dan dia balik ke kelasnya,” jelas Rara.
“Berarti dia masuk sekolah lagi dong?” tanya Rona lagi dijawab dengan anggukan oleh Rara.
“Jadi selama ini dia ke mana ya? Lu nggak tanya sama dia Ra?”
“Nggak, gue ngerasa canggung aja udah lama nggak ketemu dia,” jelas Rara.
“Berarti dia masuk sekolah lagi dong?” tanya Rona lagi dijawab dengan anggukan oleh Rara.
“Jadi selama ini dia ke mana ya? Lu nggak tanya sama dia Ra?”
“Nggak, gue ngerasa canggung aja udah lama nggak ketemu dia,” jelas Rara.
Mereka berdua pun terdiam dan merasa
heran. Namun Rona nggak mau terburu-buru untuk mendatangi Dude. Dia merasa
bahwa Dude yang bersalah dan harus menemuinya terlebih dahulu untuk memberikan
penjelasan tentang hubungan mereka.
Rona menunggu dengan gelisah, sampai
bel masuk pun berbunyi dan Dude belum datang. Kemudian pada jam istirahat Rona
memutuskan tidak ikut Rara ke kantin. Karena Rona berfikir Dude akan datang
kembali menemuinya. Namun untuk kedua kalinya Rona salah menduga.
“Dude belum kemari Na?” tanya Rara
yang sudah kambali dari kantin dengan dua buah minuman di tangannya.
“Belum Ra.,” menggelengkan
kepala dengan wajah kecewa.
“Kenapa ya?” Rara merasa heran diikuti gelengan kepala Rona yang menandakan juga heran.
”Tapi lu tenang aja Na, gue yakin nanti pulang sekolah dia pasti nemuin lu,” kata Rara dengan tegas.
“Kenapa ya?” Rara merasa heran diikuti gelengan kepala Rona yang menandakan juga heran.
”Tapi lu tenang aja Na, gue yakin nanti pulang sekolah dia pasti nemuin lu,” kata Rara dengan tegas.
Dan ternyata dugaan Rara benar. Dude
sudah berada tepat di depan pintu kelas menunggu. Rona berdiri terpaku,
bibirnya terasa beku. Sedangkan Dude juga terlihat sangat gugup, seakan tidak
siap bertemu Rona.
Namun kerinduannya yang besar kepada
Rona mengalahkan ketidaksiapannya. Rara tidak ingin mengganggu percakapan
sahabatnya itu, ia tahu banyak hal yang pasti akan mereka bicarakan. Sehingga
Rara memutuskan pulang duluan.
“Hai Na,” sapa Dude dengan lembut.
“Hai…,” jawab Rona singkat.
“Apa kabar?” tanya Dude.
“Baik, kamu?” Rona menjawab pelan.
“Lumayan,” jawab Dude
“Aku antar kamu pulang ya? Sekalian ada yang mau aku omongin”, sambung Dude.
Rona mengangguk. Mereka pun pergi meninggalkan sekolah dengan mengendarai motor yang dibawa Dude. Selama di jalan mereka hanya terdiam, tidak seperti suasana dulu yang begitu dihiasi dengan canda. Dude membawa Rona ke sebuah taman di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu berdua. Setelah turun dari motor mereka berdua duduk di kursi yang ada di tengah taman.
“Hai…,” jawab Rona singkat.
“Apa kabar?” tanya Dude.
“Baik, kamu?” Rona menjawab pelan.
“Lumayan,” jawab Dude
“Aku antar kamu pulang ya? Sekalian ada yang mau aku omongin”, sambung Dude.
Rona mengangguk. Mereka pun pergi meninggalkan sekolah dengan mengendarai motor yang dibawa Dude. Selama di jalan mereka hanya terdiam, tidak seperti suasana dulu yang begitu dihiasi dengan canda. Dude membawa Rona ke sebuah taman di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu berdua. Setelah turun dari motor mereka berdua duduk di kursi yang ada di tengah taman.
“Aku mau minta maaf sama kamu Na,
karena selama ini aku nggak ngasih kabar ke kamu,” Dude berusaha memulai
pembicaraan.
“Kamu sebenarnya ke mana sih? Kamu
tahu nggak, aku udah nyariin kamu ke mana-mana,” Rona merasa tidak tahan lagi
menyembunyikan perasaannya.
“A….ku, sakit Na!” jawab Dude dengan
sangat lambat.
“Sakit?” Rona merasa jawaban Dude bukanlah hal yang aneh tetapi dia justru heran mengapa hal itu harus disembunyikan darinya.
“Sakit?” Rona merasa jawaban Dude bukanlah hal yang aneh tetapi dia justru heran mengapa hal itu harus disembunyikan darinya.
“Tapi kenapa kamu nggak ngasih tau
aku, aku kan pacar kamu jadi aku bisa ngerawat kamu.”
“Aku tahu Na, tapi ini nggak segampang itu.”
“Aku tahu Na, tapi ini nggak segampang itu.”
“Maksud kamu?” Rona semakin terlihat
bingung dengan perkataan Dude yang nggak jelas. Dude terdiam, mukanya terlihat
ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Rona.
“De? Kenapa kamu diam? Maksud kamu apa?” Rona mengguncang badan Dude, memaksa Dude menjelaskan semuanya. Rona merasa sudah cukup untuk bingung selama tiga bulan ini. Sehingga dia tidak ingin menunda lagi mengetahui apa yang terjadi.
“De? Kenapa kamu diam? Maksud kamu apa?” Rona mengguncang badan Dude, memaksa Dude menjelaskan semuanya. Rona merasa sudah cukup untuk bingung selama tiga bulan ini. Sehingga dia tidak ingin menunda lagi mengetahui apa yang terjadi.
“Aku…aku…aku menderita kanker
stadium akhir Na,” jelas Dude dengan perlahan.
“Apa?” Rona terlihat sangat terkejut, ia benar-benar nggak menyangka penjelasan Dude akan seserius itu.
“Apa?” Rona terlihat sangat terkejut, ia benar-benar nggak menyangka penjelasan Dude akan seserius itu.
“Selama tiga bulan ini aku
menghilang, karena mama membawa aku ke Singapura untuk menjalani perawatan. Di
sana aku terapi dan aku sempat kritis Na,” Dude melanjutkan penjelasannya.
”Sekarang aku hanya punya waktu seminggu, setelah itu aku harus balik ke Singapura untuk perawatan selanjutnya.”
”Sekarang aku hanya punya waktu seminggu, setelah itu aku harus balik ke Singapura untuk perawatan selanjutnya.”
“Ya ampun Dude….kenapa kamu nggak
ngasih tahu aku?” keluh Rona dan air mata terlihat jatuh di pipinya yang halus.
“Aku takut setelah mendengar
semuanya kamu ninggalin aku. Aku kangen banget sama kamu dan aku takut
kehilangan kamu Na.” Dude menutup mukanya dengan tangan. Ia menangis layaknya
seorang anak kecil.
Melihat kesedihan pacarnya itu hati
Rona hancur. Rona meraih tangan Dude dan memegangnya erat-erat. “Aku cinta sama
kamu, dan aku cinta kamu apa adanya, aku nggak bakalan ninggalin kamu,” ujar
Rona sambil menatap Dude.
“Aku bakal nunggu kamu, sampai kamu
sembuh.”
“Tapi penyakitku semakin parah Na,
aku nggak tahu kapan bisa balik lagi. Entah itu tiga minggu, tiga bulan, atau
mungkin tiga tahun lagi,” tambah Dude dengan air mata yang terus mengalir.
“Aku nggak peduli, aku bakal nungguin kamu. Asal kamu janji berusaha untuk sembuh demi aku,” tambah Rona.
“Aku nggak peduli, aku bakal nungguin kamu. Asal kamu janji berusaha untuk sembuh demi aku,” tambah Rona.
Dude terharu dengan perkataan Rona.
Ia merasa semangat hidupnya kembali lagi. “Aku janji sama kamu, aku akan
berusaha untuk sembuh.”
Dude langsung memeluk Rona dengan
erat. Sudah lama pelukan hangat itu tidak mereka rasakan. Mereka larut dalam
kebersamaan itu. Sejenak mereka melupakan semua kesedihan yang ada. Walaupun
sebenarnya Rona tahu semua itu tidak akan mudah nantinya. Tapi ia hanya ingin
memberikan semangat penuh untuk Dude, karena hanya itu yang bisa ia lakukan
saat ini.
Seminggu sebelum keberangkatan Dude
ke Singapura mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama. Rona hanya ingin
memberikan kenangan yang terindah untuk Dude. Kenangan yang mungkin tidak akan
terulang lagi. Kenangan yang juga mungkin terakhir Dude rasakan. Mereka berdua
benar-benar sadar akan hal itu. Tapi jauh di dalam lubuk hati Rona, ia berharap
ini hanya sepenggal kenangan yang nantinya menjadi memori saat mereka
menghadapi masa tua bersama.
Linda Evans Tresya adalah mahasiswa Jurusan Matematika
FMIPA Rab University Pekanbaru
Linda Evans Tresya adalah mahasiswa Jurusan Matematika
FMIPA Rab University Pekanbaru
0 comments:
Posting Komentar