Bunga
yang Berembun : Cerpen Sedih
Gadis itu melangkah dengan langkah
memburu. Wahanya tampak pucat. Kantung matanya terlihat cekung dengan rambut
yang dibiarkan kering dan tegerai kusut. Dia terus melangkah menyusuri koridor
kampus dengan membawa beberapa buku tebal di tangan. Dia tak menoleh, hanya
menunduk berusaha menyembunyikan raut wajahnya yang kian memucat. Seperti
biasa, saat di dalam kelas, dia selalu memilih tempat duduk di pojok.
“Bunga, wajahmu pucat sekali?”
Sinta, sahabat barunya itu menoleh ke belakang. Baru dua minggu mereka saling
kenal. Tapi Sinta seperti telah mengenal dekat sahabat barunya itu. Dia bahkan
begitu peduli terhadap Bunga.
“Aku sudah biasa seperti ini.” Bunga berkata pelan sambil menundukkan wajahnya
yang mengucurkan keringat.
“Tapi wajahmu hari ini pucat sekali,” Sinta melangkah ke belakang lalu duduk di
sebelah Bunga. “Ayah dan ibumu bertengkar lagi ya?” tebak Sinta.
“Aku tak tahu. Mereka tidak ada di
rumah…” Bunga menyahut dengan suara serak.
“Adik-adikmu bagimana?”
“Adik-adikku baik-baik saja.”
Sinta memerhatikan sekali lagi wajah sahabat barunya itu. Wajah Bunga tampak
semakin pucat. “Kalau kau punya masalah, kau jangan malu cerita padaku. Siapa
tahu aku bisa membantumu…”
“Jangan terlalu peduli padaku.”
“Jangan memaksakan diri jika kau tak mampu. Kau pasti memerlukan bantuan orang
lain untuk menyelesaikan masalahmu.”
“Sudah kukatakan jangan pedulikan
aku!” Bunga menunjukkan sikap tidak sukanya.
“Aku merasa berdosa jika membiarkan seseorang yang tertimpa masalah menjadi
tersiksa lantaran tak ada yang peduli. Apalagi kau, seorang sahabat yang
pertama kali aku kenal di kampus ini…”
“Kau kira aku wanita lemah?!” Bunga berdiri dari duduknya lalu melangkah
meninggalkan Sinta menuju pintu kelas.
“Bunga, kau mau bolos kuliah lagi?” teriak Sinta.
Bunga hanya diam. Sinta mengejarnya.
“Bila kau bolos lagi hari ini kau bisa dikeluarkan dari kelas ini!”
Bunga menoleh, menatap wajah Sinta dengan pandangan menusuk. “Kukira nasibku
bukan ditentukan oleh mata kuliah hari ini. Hanya aku dan Tuhan saja yang bisa
mengatur hidupku…!”
“Suatu saat nanti kau pasti menyesal.”
“Aku lebih menyesal lagi jika ke kampus tapi tidak mendapatkan apa-apa!”
“Kau menyindir aku?”
“Aku mengatakan ini pada diriku sendiri!”
Tanpa rasa ragu sedikit pun Bunga melangkah ke luar kelas. Tak dipedulikannya
lagi saat Pak Robert, dosen yang akan memberikan mata kuliah Ekologi
Pemerintahan itu melongo di muka pintu, memerhatikan kepergiannya.
***
Bunga telah terkantuk-kantuk menonton
televisi bersama kedua adiknya saat ibu pulang ke rumah dalam keadaan mabuk.
“Hei, kalian belum tidur…? Hhhh… sudah jam berapa ini heh…?” ibu melangkah
sempoyongan. Tubunya lemah sekali.
“Kami mengkhawatirkan ibu… ibu
akhir-akhir ini jarang pulang ke rumah…” Bunga memapah ibu duduk di sofa. Tubuh
ibu yang berbau alkohol tercium begitu menyengat, menyumbat hidung. Membuat
kedua adik Bunga takut lalu menggeser posisi duduk mereka ke sofa ujung.
“Kalian tak usah terlalu mengkawatirkan Ibu… hhhh… Ibu baik-baik saja. Ibu
berbuat begini juga demi kalian. Dengan cara beginilah Ibu bisa mendapatkan
uang…”
Keheningan menyergap sesaat. Udara malam terasa kian membeku.
“Apa Ibu tahu kalau ayah menikah lagi?” tanya Bunga dengan suara bergetar.
“Biarkan saja. Jangan urusi ayahmu lagi…!”
“Seharusnya ayah bertanggung jawab atas hidup kita…!” Bunga berkata dengan
amarah yang menggebu.
“Ibu yang menyuruhnya menikah lagi!”
Hampir saja Bunga tersedak. Bunga membelalak tak percaya. Ibu?? Oh…
***
Raut wajah Bunga kian memucat. Hari
ke hari dilaluinya dengan banyak menyendiri. Seperti saat ini, duduk termenung
di tepi sungai dengan tatapan nanar penuh dengan kepedihan. Tiba-tiba seseorang
datang mengahampirinya, menawarinya segelas teh botol dingin. Ternyata Sinta,
sahabat barunya.
Bunga menoleh sesaat menatap wajah Sinta. Wajah itu tampak berseri. Terlihat
sangat bahagia. Tidak seperti dirinya, yang selalu murung dengan mata lembab
oleh air mata.
“Laki-laki itu sungguh ramah dan
baik hati…” Sinta berkata tanpa diminta. Mungkin ia ingin membagi
kebahagiaannya pada Bunga. Namun Bunga diam saja.. Tak ada senyum yang merekah
di bibirnya.
“Coba kau lihat kalung ini,” Sinta memerlihatkan kalung yang melingkar di
lehernya. “Bagaimana menurutmu?” tanya Sinta.
“Kalung itu kalung mahal. Pas sekali di lehermu yang jenjang. Kau tampak
semakin cantik,” ucap Bunga mulai bersuara.
“Bukan hanya kalung, laki-laki itu
juga memberiku anting-anting dan beberapa gaun mahal.”
“Dia pacar barumu ya?” tanya Bunga.
“Bukan…”
“Lalu?”
“Dia… dia… ah, coba kau lihat ini!”
Sinta mengambil sehelai foto pernikahan dari dalam dompetnya lalu
memerlihatkannya kepada Bunga. “Pasangan yang serasi bukan?”
Bunga tak menyahut. Ada pisau yang
menusuk di ulu hatinya yang membuat kedua matanya kembali mengembun.
“Dia papa buruku…” ucap Sinta kemudian. Embun di mata Bunga pun kian berguguran
menoreh hatinya yang semakin terluka.
***
——————————
Cerpen Sedih, Cerpen tentang kesedihan oleh:
S. Ahmad Pandi,
Peminat Cerpen tinggal
di Pekanbaru
0 comments:
Posting Komentar