Antara Aku dan Bintang
Aku sudah lama mengenal Bintang,
lama sekali, sejak SMP, eh SD, ah atau mungkin sejak aku lahir, karena Bintang
selalu ada untukku, selalu menemani aku, tempat aku mengadu, tertawa bersama bahkan
saat aku ada masalah Bintang-lah yang pertama kali tahu.
Hingga suatu hari Bintang harus
pergi, dia lulus SMPTN dengan angka luar biasa. Itulah yang aku kagumi dari
Bintang. Dia pintar, cakep dan selalu perhatian, dan dia tak pernah bisa
melihatku menangis. Dia telah menjadi bagian hidupku. Mulanya aku senang karena
Bintang berhasil lolos di Fakultas Psikologi yang sangat diimpikannya. Tapi aku
terpana ketika tahu universitas mana yang berhasil dimasukinya.
“Mengapa harus jauh-jauh di
Pekanbaru? Mengapa tak di sini saja, apa sih kurangnya Jogja buat kamu?”
Kutatap matanya yang terus saja memancarkan girang.
“Witri, di manapun tempat kuliah itu
sama saja! Jogja, Pekanbaru. Tinggal kita nya aja kok….” Jawabnya.
“Tapi….”
“Tapi….”
“Percayalah, aku baik-baik saja di
sana!” Potongnya
Kupejamkan mataku, mungkin kamu akan baik-baik saja tapi aku? Apa aku bisa terus di sini tanpa kamu? bisik hatiku.
“Sampai di sana kamu pasti akan melupakanku….” Air mata ini tak sanggup kubendung lagi, aku bahkan terisak isak, Bintang hanya tersenyum. Ia menarikku dalam pelukannya aku menangis di bahunya.
Kupejamkan mataku, mungkin kamu akan baik-baik saja tapi aku? Apa aku bisa terus di sini tanpa kamu? bisik hatiku.
“Sampai di sana kamu pasti akan melupakanku….” Air mata ini tak sanggup kubendung lagi, aku bahkan terisak isak, Bintang hanya tersenyum. Ia menarikku dalam pelukannya aku menangis di bahunya.
“Tak akan pernah Witri! Mana mungkin
aku bisa melupakan anak manja dan cengeng sepertimu….”
Kutinju bahunya aku meronta dari pelukannya,dan berlari menjauh darinya. “Ingat Bintang! Aku bukan anak kecil lagi “ Jeritku
Kutinju bahunya aku meronta dari pelukannya,dan berlari menjauh darinya. “Ingat Bintang! Aku bukan anak kecil lagi “ Jeritku
Dia tertawa dan terus mengejarku,
selalu saja begitu. Kami sudah sangat dekat, dekat sekali, sementara senja
bergulir perlahan, tempiasan sinarnya memantul di permukaan telaga. Liburan
kali ini seperti juga liburan kemarin selalu saja dihabiskan di tempat ini, di
Telaga Sarangan, tapi kami tak pernah bosan. Bahkan ketika liburan tahun
sebelumnya Romo mengajakku ke Rotterdam mengunjungi Oom Peter, Aku sedih
sekali tak bisa ke Sarangan bersama Bintang.
“Jangan menangis gitu dong, Witri!
Jogja-Pekanbaru itu nggak jauh kok, aku kan bisa telpon kamu. Ayo se-nyum! Masa
jagoan cengeng…” Ejek Bintang ketika aku mengantar kepergiannya di Bandara.
Aku mencoba tersenyum, kamu nggak
tahu Bintang, Meskipun aku bisa telpon kamu seharian pun tetap beda kalau kamu
tak ada di dekatku, kamu nggak bisa temani aku ke Perpustakaan lagi,
jalan-jalan ke Malioboro, ke Alun alun atau ke Sarangan, nggak bisa lagi!
***
Satu tahun terakhir Bintang mulai
jarang menghubungiku, ketika kutanyakan dia hanya menjawab “sibuk.” Sibuk
berorganisasi-lah, sibuk kuliah, dan segala macam alasannya. Aku maklum, aku
percaya Bintang tak pernah bohong padaku.
Dua tahun di awal, Bintang tak
pernah menghubungiku lagi. Telpon kost-nya ketika kuhubungi diangkat temannya,
dan dari temannya kutahu Bintang sudah pindah. Handphone-nya tak pernah aktif.
Lalu kutulis surat lewat email, lama sekali baru dibalas.
“Dear Witri…
Maaf baru ku balas email kamu, aku sangat sibuk Wit, semester depan aku PKL, setelah itu aku KKN, Witri belajar yang rajin, sebentar lagi UN khan? Moga-moga lulus. Lam sukses…
Setelah itu Bintang tak pernah lagi membalas emailku, berkali-kali aku meminta alamat barunya atau nomer handphonenya tapi Bintang tak pernah membalas emailku.
Maaf baru ku balas email kamu, aku sangat sibuk Wit, semester depan aku PKL, setelah itu aku KKN, Witri belajar yang rajin, sebentar lagi UN khan? Moga-moga lulus. Lam sukses…
Setelah itu Bintang tak pernah lagi membalas emailku, berkali-kali aku meminta alamat barunya atau nomer handphonenya tapi Bintang tak pernah membalas emailku.
Hari-hari menjelang UN makin dekat,
sejenak Bintang terlupakan, sebagai gantinya tiap malam sebelum tidur aku
memandangi bintang-bintang di langit, menumpahkan semua sedih, perih dan juga
rindu. Aku selalu berharap bintang-bintang itu menyampaikan keluh kesahku pada
Bintangku yang selalu saja sibuk.
“Mungkin kamu mencintai Bintang, Wit. Mengapa kamu nggak pernah jujur padanya…” ucap Luna suatu hari, satu-satunya orang yang dekat denganku setelah kepergian Bintang.
“Entahlah Luna, aku nggak tahu…” jawabku datar.
“Mungkin kamu mencintai Bintang, Wit. Mengapa kamu nggak pernah jujur padanya…” ucap Luna suatu hari, satu-satunya orang yang dekat denganku setelah kepergian Bintang.
“Entahlah Luna, aku nggak tahu…” jawabku datar.
“Kamu membohongi diri sendiri kalau
bilang nggak cinta sama Bintang!” lanjut Luna.
Kubiarkan semua ucapan Luna mengambang di kesejukan senja. Seperti tak percaya aku datang ke Sarangan bersama Luna, bukan bersama Bintang! Cepat kubuang jauh semua anganku tentang Bintang. Bintang sudah melupakanku. Ternyata apa yang pernah kutakutkan dulu terjadi juga. Pelan kugoreskan pena di atas diary kecil yang selalu kubawa ke mana-mana.
Kubiarkan semua ucapan Luna mengambang di kesejukan senja. Seperti tak percaya aku datang ke Sarangan bersama Luna, bukan bersama Bintang! Cepat kubuang jauh semua anganku tentang Bintang. Bintang sudah melupakanku. Ternyata apa yang pernah kutakutkan dulu terjadi juga. Pelan kugoreskan pena di atas diary kecil yang selalu kubawa ke mana-mana.
Seruling bambu
Merdu walaupun sendu
Menyentuh daun-daun waru
Menyentuh celah-selah kalbu
Telaga Sarangan menyimpan misteri
Sampai kini tak kumengerti
Senja makin kelabu. Kutinggalkan Sarangan dengan berbagi macam kecamuk di kepala, benarkah Bintang telah melupakanku? Mengapa?
Merdu walaupun sendu
Menyentuh daun-daun waru
Menyentuh celah-selah kalbu
Telaga Sarangan menyimpan misteri
Sampai kini tak kumengerti
Senja makin kelabu. Kutinggalkan Sarangan dengan berbagi macam kecamuk di kepala, benarkah Bintang telah melupakanku? Mengapa?
***
Hasil kerja kerasku selama hampir
dua tahun penuh tak sia-sia, aku lulus UN dengan nilai menakjubkan. Romo dan
Ibu bangga padaku, semua mengucapkan selamat padaku, bahkan Oom Peter
menawariku kuliah di negerinya. Tapi aku menolak, sama halnya ketika aku
ditawari beasiswa di berbagai PTN atau New Orleans, (untuk tawaran yang satu
ini aku tak pernah memberitahu Romo dan Ibu, karena aku yakin beliau pasti
marah jika tahu aku menolak beasiswa dari sebuah Universitas ternama di New
Orleans.) Sebenarnya ini kesempatan langka, tapi aku sudah punya rencana
sendiri,dan saat kuutarakan pada Romo aku membuat beliau marah dan kecewa.
“Apa!! Pekanbaru? Lebih baik kamu
masuk UI saja!“ kata Romo
“Tapi Romo, Witri ingin mencoba hal baru, Witri ingin hidup mandiri tanpa Romo dan Ibu, saya pikir Pekanbaru tempat yang bagus…” hampir menangis aku meyakinkan Romo. Dan Romo pun akhirnya luluh.
“Tapi Romo, Witri ingin mencoba hal baru, Witri ingin hidup mandiri tanpa Romo dan Ibu, saya pikir Pekanbaru tempat yang bagus…” hampir menangis aku meyakinkan Romo. Dan Romo pun akhirnya luluh.
Begitulah kutinggalkan Romo dan Ibu,
aku ingin mengejar mimpiku, aku ingin mencari Bintang. Pekanbaru adalah hal
baru bagiku tapi aku yakin akan menemukan Bintang dan bisa bersama-sama dengan
Bintang lagi. Aku tinggal di sebuah apartemen kecil, bersama dengan beberapa
mahasiswa dari berbagai kota dan daerah. Akhir-akhir ini aku dekat dengan
seorang mahasiswi sebuah Universitas Negeri asal Medan, kak Tria.
“Nda, kenapa sih kamarmu penuh
dengan segala macam benda dan hiasan bintang? kamu suka sama bintang?“ tanyanya
suatu hari.
Aku memandang semua barang-barang
itu, mulai dari bantal yang berbentuk bintang, stiker-stiker bintang, jam
berbentuk bintang, selimut dan sprei yang bergambar bintang, handuk dengan
motif bintang, gantungan kunci, mang-kuk berbentuk bintang dan gelas dengan
hiasan bintang, dinding bercat dengan gambar bintang, buku, kotak sabun, kotak
pensil, lemari semua penuh dengan segala macam tentang bintang.
“Aku terobsesi dengan bintang, kak.
Aku ingin selalu dekat dengannya dan ingin memilikinya, karena dia adalah hal
paling indah yang pernah kulihat…“
“Kakak juga suka Bintang, Nda,
karena dia adalah satu-satunya orang yang paling kakak cintai…“ kak Tria
memandangku penuh senyum
“Orang? Maksud kakak? Kakak kenal
Bintang?“ tanyaku.
“Ya, nanti malam dia ke sini, kakak mau kenalkan dia sama kamu…“ Ucap Kak Tria sebelum berlalu dari depan kamarku.Aku terlolong mendengarnya, Bintang? Bintangkukah…
“Ya, nanti malam dia ke sini, kakak mau kenalkan dia sama kamu…“ Ucap Kak Tria sebelum berlalu dari depan kamarku.Aku terlolong mendengarnya, Bintang? Bintangkukah…
***
Aku memandang mereka dari kejauhan,
kak Tria bergandengan dengan seseorang, dan rasanya aku sangat mengenalnya.
“Nda, ini Bintang, pacar kakak.
Bintang, ini Nanda, adik yang tinggal serumah denganku…“ Kak Tria memamerkan
senyum lesung pipitnya.
Aku tak mampu mengulurkan tangan,
tubuhku beku, aku ingin memeluknya, menumpahkan semua rindu yang ada, tapi tak
bisa, ada kak Tria yang memegang lengannya erat.
“Witri…apa kabar? Tak menyangka bisa
bertemu lagi denganmu…“ ucap Bintang. Aku tersenyum kecut. Kamu jahat, Bintang!
Kamu melupakan aku, dan sekarang tak ada sedikit pun ucapan maafku untukmu,
umpatku dalam hati.
Aku tak sanggup menahan pera-saanku, hati ini rasanya mau meledak. Aku pergi dari hadapan mereka yang menatapku dengan tak mengerti, aku menuju kamarku, kubanting pintu dengan keras hingga terdengar sampai ke beranda tempat mereka duduk berdua.
Aku tak sanggup menahan pera-saanku, hati ini rasanya mau meledak. Aku pergi dari hadapan mereka yang menatapku dengan tak mengerti, aku menuju kamarku, kubanting pintu dengan keras hingga terdengar sampai ke beranda tempat mereka duduk berdua.
Namaku Witri Ananda, seorang gadis
bodoh yang menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang tak pasti, mengharap
seseorang tanpa mau mengakui perasa-annya sendiri. Uh… Bintang takkan pernah
tahu perasaanku, dia pasti menganggapku hanya sebagai teman atau adiknya karena
aku tak pernah berani jujur padanya tentang semua ini. Aku kecewa dengan
pertemuanku dengan Bintang. Aku sedih, Bintang telah menjadi milik orang lain.
Tapi biarlah aku mengabadikan hadirmu melalui bentuk-bentuk abstrakmu,
Bintang. Biarkan aku mencintaimu dari jauh, hingga perlahan rasa itu reda.
***
Asrul Rahmawati,
Mahasiswi Fakultas Komunikasi UMRI Peminat Cerpen tinggal
di Pekanbaru
Mahasiswi Fakultas Komunikasi UMRI Peminat Cerpen tinggal
di Pekanbaru
0 comments:
Posting Komentar